Banyuwangi - Ombudsman RI harus segera menyikapi terkait kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi melalui Dinas Kesehatan setempat yang memberi rekomendasi terhadap gerai rapid test antigen yang beroperasi di sekitar dan di dalam Pelabuhan Penyeberangan ASDP Ketapang yang dianggap sudah melakukan Maladministrasi.
Maladministrasi merupakan perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam proses administrasi pelayanan publik. Maladministrasi ada berbagai macam seperti penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lainnya. Tidak hanya oleh Pemerintah, tindakan Maladministrasi bisa jadi juga dilakukan oleh BUMN, BUMD, BHMN maupun badan swasta atau bahkan perseorangan.
Maladministrasi adalah sebuah perbuatan melanggar hukum. Terdapat beberapa jenis tindakan maladministrasi yang sering terjadi. Pertama, penundaan berlarut dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Seorang pejabat publik secara berkali-kali menunda atau mengulur waktu sehingga proses administrasi tersebut tidak tepat waktu sebagaimana yang telah ditentukan, sehingga mengakibatkan pelayanan publik yang tidak ada kepastian.
Kedua, penyalahgunaan wewenang yaitu tindakan seorang pejabat publik yang menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang seharusnya dilakukan sehingga tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, serta menjadikan pelayanan publik tidak dapat diterima secara baik oleh masyarakat.
Ketiga, penyimpangan prosedur yaitu dalam proses pelayanan publik ada tahapan kegiatan yang dilalui untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik, namun dalam proses pelayanan publik seringkali terjadi pejabat publik tidak mematuhi tahapan yang telah ditentukan dan secara patut sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan publik secara baik.
Lalu apakah ada lembaga khusus yang menangani maladministrasi? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Ombudsman RI merupakan lembaga negara yang menangani maladministrasi dalam pelayanan publik.
Ombudsman bertugas untuk menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Pasal 7 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008). Selama instansi yang bersangkutan ditugaskan untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang seluruh atau sebagian dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, maka pelayanan instansi tersebut menjadi wewenang pengawasan Ombudsman.
Oleh karena itu, kehadiran Ombudsman sebagai lembaga pengawas eksternal diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan. Pemerintahan dan penyelenggaraan Negara yang baik dapat tercapai apabila asas-asas pemerintahan umum yang baik ditegakkan. Maka, jika di kemudian hari kita menjadi korban maladministrasi, jangan pernah takut melapor ke Ombudsman. (Dikutip dari karya tulis Dian Mustika Intan, Mahasiswi Prodi Ilmu Hukum UMY dibawah bimbingan dan arahan Ian Dwi Heruyanto, Asisten Ombudsman RI)
Selain Ombudsman RI harus segera melakukan investigasi terkait dugaan maladministrasi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi melalui Dinas Kesehatan, aparat penegak hukum dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan juga harus turun tangan melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran aturan Omnibus Law UU Cipta Kerja oleh Pelaku Usaha terkait perizinan.
Setelah disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja pada tanggal 5 Oktober 2020, harusnya semua pihak menjalankan segala bentuk prosedur yang ditetapkannya. Karena Undang-Undang tersebut merupakan aturan negara yang dibuat oleh Eksekutif dan disahkan oleh Legislatif.
Terkait dengan gerai rapid test antigen yang bertebaran di sekitar Pelabuhan Penyeberangan ASDP Ketapang Banyuwangi yang akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak pihak akan legalitas izin operasinya, seharusnya pihak berwenang tidak hanya mempersoalkan rekomendasi dari Dinas Kesehatan saja.
Pihak berwenang dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan berhak menanyakan legalitas usaha tersebut sudah terdaftar sebagai badan hukum yang tercatat di pangkalan data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum di Kementerian Hukum dan HAM. Karena untuk menjamin legalitas kegiatan, Pelaku Usaha harus mengantongi Sertifikat Pendirian Badan Hukum yang dikeluarkan oleh Kemenkumham, yang mana didalamnya juga disertai dengan pernyataan kegiatan usahanya.
Selain harus mengantongi Sertifikat dari Kemenkumham, Pelaku Usaha juga harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) yang dikeluarkan oleh Kementerian Investasi/BKPM. Karena di dalam penerbitan NIB tersebut sudah jelas ada ketentuan hanya berlaku untuk Kode dan Judul KBLI yang tercantum didalam lampirannya. Sebagai contoh, Pelaku Usaha rapid test antigen minimal memiliki Sertifikat Kemenkumham dan NIB yang didalamnya ada kegiatan usaha dengan kode 86901 dengan judul KBLI: Aktivitas Pelayanan Kesehatan Yang Dilakukan Oleh Tenaga Kesehatan Selain Dokter dan Dokter Gigi.
Bahkan dalam lampiran NIB juga disebutkan bahwa Pelaku Usaha wajib memenuhi persyaratan dan/atau kewajiban sesuai Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) Kementerian/Lembaga (N/L). Sedangkan verifikasi dan/atau pengawasan pemenuhan persyaratan dan/atau kewajiban Pelaku Usaha dilakukan oleh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah terkait. Dan lampiran ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Dokumen NIB yang diterbitkan oleh sistem OSS berdasarkan dari data Pelaku Usaha.
Jika Pelaku Usaha rapid test antigen yang saat ini menjamur di sekitar Pelabuhan Penyeberangan ASDP Ketapang belum mengantongi hal tersebut, wajib diduga ada pelanggaran aturan terkait kegiatan usaha yang masuk dalam kategori kesehatan ini. (Bersambung)